Faforite Picture

Faforite Picture
Wait For Change

11.23.2009

Pentungan dan Gas Air Mata

Oleh : Adhitya Johan Rahmadan

PADA 20 Oktober 2009 lalu, saya mendampingi warga petani lahan pantai yang ingin mengikuti konsultasi publik analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL) oleh pemerintah kulonprogi beserta PT Jogja Magasa Maining, bukanya di terima dengan baik, malah sebelum masuk ke gedung pertemuan sudah dihadang dengan barikade polisi


kondisipun semakin memanas karena perwakilan warga yang diundang tidak di perkenankan masuk padahal, memiliki kartu undangan yang syah untuk mengikuti undangan tersebut yang di keluarkan oleh pemerintah kulon progo, tapi ditolak oleh petugas dengan alasan ada perubahan data pesrta kunjungan Amdal secara mendadak.

insiden dorong-dorongan pun tidak terhindarkan dengan pihak kepolisian, karena warga bersikeras untuk masuk setidaknya secara perwakilan, tetapi tetap saja tidak diperbolehkan untuk mengikuti konsultasi publik, beberapa saat setelah sampai di barekade polisi tiba-tiba terjadi pemukulan oleh aparat kepolisian dengan pentungan, warga yang gusar karena di hujani pentungan membalas dengan mendorong barikade kepolisian hingga kontak fisik tidak terhindarkan.

setelah kontak fisik terjadi pihak kepolisian, menembakkan gas air mata yang langsung meledak di tengah-tengah warga sehingga banyak yang cidera akibat ledakan peluru gas air mata tersebut, termasuk salah seorang nenek tua yang terkena pecahan peluru gas air mata yang lasngsung roboh karena bagian kaki dan mukanya terluka.


Nenek yang terluka tersebut, yang saya jenguk setelah beliau selesai berobat



Salah satu warga yang teluka di bagian kepalanya

tak disangka angin memihak kepada warga, karena angin bertiup kearah aparat kepolisian sehingga polisi kocar-kacir terkena gas airmatanya sendiri, seumur-umur baru kali ini saya ikut aksi masa dimana aparat kepolisian bisa kocar-kacir, biasanya sih masanya yang bubar duluan karena terkena pentungan, gas air mata atau peluru karet.

tapi sangat disayangkan walaupun telah terjadi insiden yang menyebabkan warga terluka, pihak pemerintah kulonprogo tetap tidak berbelas kasihan terhadap warga, setidaknya memperbolehan masuk untuk mengikuti sosialisasi AMDAL karena rencana pertambangan tersebut akan berdampak langsung kepada kehidupan warga petani lahan paintai di kulon progo, semoga tidak ada doa buruk yang terucap kepada mereka dan keturunannya yang diucapkan warga pada saat itu. karena doa oarang yang teraniaya katanya sih mujarab.


Read More......

Strategi Advokasi Masyarakat Petani Lahan Pantai Kulonprogo




Oleh : Adhitya Johan Rahmadan

Konflik dalam pertambangan akan terus terjadi karena ketidak jelasan pemerintah dalam arah pembangunannya terlebih lagi tidak dipenuhinya hak-hak warga yang terkena dampak pertambangan sudah jamak terjadi di negeri ini, tak terlepas dengan petani lahan pantai kulonprogo DIY yang terancam kehilangan mata pencaharian dan tempat tinggal akibat pertambangan pasir besi di pesisir pantai kulonprogo.



Posisi Kasus


PT Jogja Magasa Mining adalah perusahaan pertambangan yang akan beroprasi di kabupaten kulon progo berkerjasama dengan Konsorsium Australia Indomines Limited, dengan anak perusahaannya PT jogja Magasa Iron sebagai pelaksana program dilapangan termasuk mengadakan kontrak Karya langsung dengan pemerintah indonesia dan pemda setempat. Untuk kontrak karya pertambangan biji besi itu senuilai US$ 600 juta . Sedangkan investasi pembangunan infrastruktur pertambangan mencapai US$ 1,1 miliar Total investasi sebesar USD 1.1 milyar antara lain berupa stock pile USD 5 juta, pemasangan rel (rail sliding) USD 6 juta, pembangkit listrik 350 MW senilai USD 350 juta dan fasilitas pelabuhan USD 10 juta dan investasi pertambangan sebesar USD 600 juta. Diharapkan proyek ini akan menyumbang Penerimaan Negara dari sisi pajak sekitar USD 20 juta/tahun, royalty sebesar USD 11,25 juta/tahun, pendanaan lokal USD 7 juta/tahun dan operating expenditure USD 55 juta/tahun. PT. Dalam kontrak tersebut dinyatakan pemerintah pusat akan mendapat pemasukan pajak US$ 20 juta per tahun ditambah royalti US$ 11,25 juta per tahun. Pemerintah Kabupaten Kulonprogo PT akan diberikan kontribusi sebesar 1,5% dari penjualan masing-masing untuk Regional Development dan Community Development dan setelah 10 tahun meningkat menjadi sebesar 2%.

Yang menjadi persolanan adalah proyek lahan pasir tersebut akan ber oparasi di lahan yang telah di kelola oleh warga setempat, sebagai lahan pertanian, para petani yang mengarap lahan yang akan di jadikan proyek lahan pasir besi tersebut keberatan dengan rencana proyek tersebut, dikarenakan mereka sudah mengarap lahan tersebut secara turun-temurun dari lahan pasir gersang yang tidak mempunyai nilai ekonomi, dirubah menjadi lahan yang subur dengan swadaya masyarakat sendiri dan mampu menghasilkan pendapatan yang mencukupi bagi petani yang mengarapnya.

Pada perjalannya walaupun pemerintah sudah menandatangani kontrak karya dengan pemerintah, warga petani lahan pantai di kulonprogo tetap menolak proyek tambang pasir besi tersebut dan bersikukuh untuk mempertahankan haknya untuk mengelola tanah lahan pertanian pingir pantai tersebut.


Setrategi Advokasi


Membentuk lingkar inti:
Untuk membuat suatu gerakan yang terorganisir diperlukan beberapa orang sebagai koordinator dan motivator. Orang-orang inilah yang bertugas menyusun strategi, mengorganisir dan mendorong masyarakat lain untuk ikut. Dalam lingkar inti ini dapat terdiri dari beberapa komponen masyarakat yaitu : wakil masyarakat dari organisasi kepemudaan, para legal, dan ketua Persatuan Petani Lahan Pantai sendiri.

Mengumpulkan Data Informasi:
Kumpulkan data yang berkaitan dengan kasus penambangan pasir besi di kulon progo tersebut, baik dokumen tanah sampai dokumen rencana proyek dan yang berkaitan dengan perkembangan kasus tersebut
Analisis Data:
Dari data yang sudah di kumpulkan coba di analisis apa dampak baik dan buruknya untuk masyarakat dan simpulkan untuk menentukan langkah gerak

Bangun Basis - Pelibatan Masyarakat
Memotivasi masyarakat agar terlibat dalam setiap proses atau tahapan advokasi.

Bangun Jejaring:
Agar gerakan lebih kuat dan berjalan efektif perlu sebanyak banyaknya sekutu untuk diajak bekerjasama atau membantu melancarkan advokasi, sekaligus dalam hal ini dilakukan pembagian tugas, pada tahapan ini kita dapat melibatkan: WALHI, JATAM, dan LSM lain yang konsen untuk kasus tersebut, serta pers untuk memblow up kasus tersebut keranah publik

Lancarkan Tekanan:
Advokasi dapat dilakukan dengan cara melakukan tekanan ke berbagai pihak dengan berbagai cara, mulai dari yang bersifat lunak, misal : dengan mempengaruhi pendapat umum melalui tulisan di media massa, dengan mengirim surat ke berbagai instansi terkait, DPRD dan badan lainnya.

Pengaruhi Pembuat dan Pelaksana Kebijakan
Usahakan untuk mengajak diskusi instansi terkait atau wakil dari pemda dan DPRD, dan secara proaktif memberi tahu para pembuat kebijakan arti penting penanganan kasus tersebut bagi masyarakat setempat dan pembangunan secara umum, baik dengan media Aksi maupun Konsolidasi

Lakukan Pembelaan:
Hal ini dilakukan dengan pendampingan hukum bagi Petani Lahan Pantai, baik terkait dengan kasus perdata yaitu pengusahaan hak milik bagi lahan pertanian tersebut, dan kasus pidana jika terjadi tindak kekerasan dan intimidasi kepada petani lahan pantai.




Read More......

11.03.2009

Negeri Para Bedebah

Karya:Adhie Massardi

Ada satu negeri yang dihuni para bedebah
Lautnya pernah dibelah tongkat Musa
Nuh meninggalkan daratannya karena direndam bah
Dari langit burung-burung kondor jatuhkan bebatuan menyala-nyala

Tahukah kamu ciri-ciri negeri para bedebah?
Itulah negeri yang para pemimpinnya hidup mewah
Tapi rakyatnya makan dari mengais sampah
Atau jadi kuli di negeri orang yang upahnya serapah dan bogem mentah

Di negeri para bedebah
Orang baik dan bersih dianggap salah
Dipenjarakan hanya karena sering ketemu wartawan
Menipu rakyat dengan pemilu menjadi lumrah
Karena hanya penguasa yang boleh marah
Sedang rakyatnya hanya bisa pasrah

Maka bila negerimu dikuasai para bedebah
Jangan tergesa-gesa mengadu kepada Allah
Karena Tuhan tak akan mengubah suatu kaum
Kecuali kaum itu sendiri mengubahnya

Maka bila negerimu dikuasai para bedebah
Usirlah mereka dengan revolusi
Bila tak mampu dengan revolusi,
Dengan demonstrasi
Bila tak mampu dengan demonstrasi, dengan diskusi
Tapi itulah selemah-lemahnya iman perjuangan

Read More......

5.28.2009

Rakyat Mengonggong DPT, Kafilah Tetap Berlalu

Warga Papaua Melapor ke LBH Yogyakarta Karena kehilangan hak pilihnya

Oleh : Adhitya Johan Rahmadan

Apakah pemilu kali ini dapat dikatakan respresentatif, disaat jutaan orang tidak dapat memilih karena tidak di berikan hak pilih oleh KPU sedangkan BANWALU hanya dapat melihat saja tanpa bisa berbuat apa-apa, penghilangan hak warga untuk memilih yang direspresentasikan dengan kacauya DPT merupakan pelangaran HAM.

Pemilu adalah penanda dimana roda demokrasi berjalan, kesuksesan dan kredibilitas pemilu ini sangat di tentukan oleh kinerja Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (BANWASLU), Banyak yang berpendapat kinerja kedua lembaga ini dalam pemilu legislatif tahun 2009 ini di nilai sangat buruk baik dari segi penyelenggaraan dan pengawasannya. Hal ini juga tercermin dalam kasus warga Papua yang tidak dapat mengunakan hak pilihnya dalam pemilihan Legislatif tahun 2009 ini, dimana perwakilan warga papua tersebut diantaranya adalah Onesimus Kambu, Natalsen Basna, Beni Dimara, Yakobus Murafel, Elliza T Mandosir mereka mewakili 525 warga Papua pemegang Formulir A 5 Daftar Pemilih Tetap di wilayah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, mengadukan permasalahan tersebt ke LBH Yogyakarta.

Bahwa menurut keterangan perwakilan warga papua tersebut pada Rabu, 8 April 2009 atau satu hari sebelum petempat mereka memberikan hak suaranya atau hak pilihnya, kemudian hari Rabu, 9 April 2009 sekitar jam 08.00 Wib mereka berniat memberikan hak pilihnya pada TPS-TPS yang tercantum didalam undangan untuk memilih yang diterima oleh klien kami, tetapi sesampainya di tempat pemilihan suara (TPS) ternyada nama mereka tidak tercantum dalam daftar pemilih di TPS tersebut, sehingga mereka tidak dapat menggunakan hak pilihnya.

Menurut Hestu Cipto Handoyo Pembatu Rektor III Universitas Admajaya Yogyakarta dan Direktur Parlement Wach Indonesia saat mengisi diskusi tentang Carut Marut Pemilu Legislatif 2009 di LBH Yogyakarta mengatakan “Permasalahan Pemilu 2009 yang paling menonjol di saat-saat yang menentukan adalah banyak warganegara yang kehilangan hak pilih karena tidak tercantum dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang disusun oleh KPU dan KPU Daerah. Sistem administrasi kependudukan lagi-lagi menjadi biang keladi persoalan ini. Permasalahan semakin menjadi-jadi ketika angka Golput dalam Pemilu mencapai 40%. Persentase tersebut terdiri dari Golput yang memang tidak mempergunakan hak pilih, dan golput yang dipaksa atau terpaksa karena tidak tercantum dalam DPT”.

Bagi Golput yang karena kesadaran sendiri tidak mempergunakan hak pilih, tentu tidak menjadi masalah, karena tidak memilih dalam pemilu juga merupakan manifestasi dari hak. Namun persoalan menjadi sangat serius manakala Golput tersebut dipaksa atau terpaksa, karena nama warga negara sebagai pemegang hak pilih tidak tercantum dalam DPT.Persoalan krusial Golput yang dipaksa atau terpaksa ini, jika ditinjau perspektif HAM jelas melanggar ketentuan Pasal 21 ayat (3) Deklarasi HAM Sedunia yang salah satunya menghendaki adanya asas berkesamaan.

“Pemaksaan Golput karena tidak tercantumnya nama pemilih dalam DPT pada hakikatnya dapat dikategorikan merupakan tindakan yang secara sistemik menghalang-halangi warga negara dalam mempergunakan hak pilih dalam pemilu. Langkah menghalang-halangi ini dapat dilakukan melalui berbagai modus operandi baik itu disengaja maupun tidak. Terlepas dari sengaja maupun tidak sengaja, tetap dapat dikategorikan sebagai bentuk pemaksaan Golput. Hal ini mengingat pemenuhan hak untuk memilih dalam pemilu bagi warga negara pada hakikatnya harus dikuti oleh kewajiban dari penyelenggara pemilu (KPU) untuk memenuhinya. Sehingga tanpa harus diminta penyelenggara Pemilu wajib memberikan fasilitas kemudahan untuk pemenuhan hak warga negara untuk memilih.

Dengan demikian, tidak ada alasan bagi penyelenggara Pemilu untuk tidak melakukan pendaftaran pemilih dan update data bagi warga negara yang telah memiliki hak untuk memilih. Dengan terjadinya kekacauan DPT yang mengakibatkan sebagian dari 40% Golput dalam Pemilu 2009 adalah karena tidak tercantum dalam DPT, maka hal ini menunjukkan bahwa penyelenggara pemilu, yakni KPU/D telah melalaikan atau tidak melaksanakan kewajiban yang menjadi tanggungjawabnya. Pemerintah dan/atau KPU/D jelas-jelas telah menghilangkan hak konsititusional sebagian Warga Negara. Disinilah pelanggaran Hak Asasi Manusia tidak dapat ditoleransi lagi, karena hak pilih dalam pemilu merupakan hak asasi yang paling mendasar dalam konteks hak politik warga negara. Apalagi Pasal 28 I ayat (4) UUD 1945 telah mengamanatkan bahwa Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggungjawab negara, terutama pemerintah” lanjut Hestu Cipto Handoyo menjelaskan.

Terkait kacaunya DPT pada pileg , M. Irsyad Thamrin Diektur LBH Yogyakarta mengatakan pemerintah harus bertanggung jawab, bahkan sebisa mungkin hal ini dibawa ke jalur hukum. Dengan pertimbangan jika pelanggaran tersebut dibiarkan, ada cenderungan pemerintah akan melakukan hal yang sama pada pemilu-pemilu selanjutnya. "Kacaunya DPT jelas sebuah pelanggaran pemilu. Kinerja pemerintah perlu dipertanyakan antara KPU dan Menteri Dalam Negeri, karena banyak pemilih yang pada Pemilu 2004 ikut memilih tapi pada Pemilu 2009 tidak terdata dalam DPT. Ini kan aneh," tutur Irsyad.

Untuk permasalah tersebut Hestu Cipto Handoyo mengusulkan perlu diadakannya pemilu khusus bagi warga negara yang terpaksa golput. Pasalnya jumlah pemilih yang terpaksa golput karena tidak terdata pada DPT pileg lalu sangat banyak, bahkan diperkirakan hingga 40 persen."Di samping itu perlu penegakan hukum atas pelanggaran pemilu kali ini. Karena sesuai Undang-undang Pemilu Nomor 10/2008 Pasal 262 disebutkan setiap orang yang saat pendaftaran pemilih menghalang-halangi seseorang untuk terdaftar sebagai pemilih dipidana penjara paling singkat 12 bulan sampai 36 bulan dan denda Rp 12 juta sampai Rp 36 juta," jelasnya.




Read More......

Dana Besar Kerja Asal

Oleh : Adhitya Johan Rahmadan

Kinerja Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dinilai sangat kurang, hal tersebut tidak sebanding dengan biaya untuk membiayai kedua lembaga tersebut dalam menyelenggarakan dan mengawasi pemilu.

Anggaran Pemilu 2009 TA (tahun anggaran) 2008 dan 2009 untuk KPU, KPU Provinsi dan KPU kabupaten/kota berdasarkan pertemuan KPU, Bappenas dan Departemen Keuangan dialokasikan Rp 21. triliun lebih, Hal itu terungkap dalam Rapat Dengar Pendapat Komisi II DPR dengan Wakil Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Ramlan Surbakti yang dipimpin Ketua Komisi E.E Mangindaan di Gedung DPR, anggaran pemilu ini cukuplah besar kalau dilihat dari APBN tahun 2009 yang sebesar Rp 295,3 triliun. Hal ini sangat tidak sebanding dengan kinerja yang diberikan untuk penyelenggaraan pemilu kali ini.

Berbagai pandangan untuk menyoroti pelaksanaan pemilu legislatif masih terus dilakukan berbagai kalangan, tujuannya tidak lain agar kisruh atau persoalan yang sama tidak terjadi di pemilu presiden mendatang.Forum Rektor Indonesia (FRI) memberi tiga catatan Pemilihan Umum (Pemilu) 2009, yakni distribusi logistik yang tidak tepat sasaran, teknologi penghitungan yang lamban dan pemutakhiran daftar pemilih tetap (DPT) yang bermasalah. “Kekurangan atau ketidaksempurnaan memang banyak, tapi kualitas kepatuhan prosedur cukup baik, karena itu penyelenggara pemilu harus memperbaiki kinerja dalam tiga hal itu,” kata anggota FRI Prof Dr Ec Wibisono Hardjopranoto MS.

Kisruh yang melanda Pemilu legislatife 2009 ini disinyalir juga di karenakan profesionalitas angota KPU yang tidak kompeten memimpin lembaga tersebut, mantan Anggota KPU tahun 2004 Valina Singka Subekti menuturkan “Saya melihatnya mungkin karena ketidakfahaman atau ketidaktahuan mereka untuk mengambil kewenangan keputusan mengenai betapa sulitnya melaksanakan pemilu di Indonesia. Jadi rekrutmen asal-asalan seperti itu sehingga hasilnya seperti ini. Anggota KPU itu bertanggung jawab melaksanakan pemilu, jadi harus dipilih orang-orang yang berkompeten”, Solusi kedepan harus dipikirkan membangun sistem yang lebih baik. Antara lain sistem rekrutmen dan seleksi anggota KPU harus ditinjau kembali supaya bisa menghasilkan orang-orang yang kompeten, kredibel dan punya kemampuan manajemen, itu yang penting, Ujar Vanila

Pelanggaran pemilu terus berulang dari tahun ke tahun, akan tetapi tidakan dari Bawaslu terlihat sama saja dari tahun-ketahun, tidak terlihat progresifitasnya. Tercatat 2.126 kasus pelanggaran oleh partai politik peserta Pemilu selama kampanye rapat umum. Ketua Bawaslu Nur Hidayat Sardini menyebutkan, bahwa dari total 2.126 pelanggaran, 223 di antaranya adalah pelanggaran administrasi, 635 tindak pidana Pemilu, dan 1.370 pelanggaran lainnya. Dijelaskan, pelanggaran administrasi Pemilu adalah pejabat negara kampanye tanpa surat izin cuti, kampanye melebihi waktu yang telah ditetapkan, kampanye lintas daerah pemilihan, perubahan jenis, waktu, bentuk, dan juru kampanye tanpa pemberitahuan kepada KPU dan Panwalu.
Dengan kondisi pelanggaran pemilu baik yang dilakukan peserta maupun penyelenggara pemilu Bawaslu sebagai pengawasya terlihat seperti macan ompong hal ini terlihat secara gamblang di kualitas pemiluhan umum yang lebih buruk dari tahun 2004, namun kasus yang di tangani bawaslu jarang yang dapat di tuntaskan, termasuk pihak yang bertanggungjawab atas hilanggnya jutaan suara pemilih, tidak permah di rekomendasikan untuk diproses hukum. Diharapkan dana yang besar untuk penyelenggaraan pemilu sebanding dengan kinerja KPU dan Bawaslu.


Read More......

5.13.2009

Rakyat Menolak, AMDAL Jalan Terus

Oleh : Adhitya Johan Rahmadan

Walaupun Paguyuban Petani Lahan Pasir (PPLP) menolak ekploitasi pasir besi di lahan yang mencakup 10 kelurahan tersebar di empat kecamatan antara lain Wates, Galur, Banaran, dan Panjatan, rencana penyusunan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) tetap dilaksanakan.



Setelah penandatanganan Kontarak Karya Antara Pemerintah dan PT Jogja Magasa Mining (JMM) dan anak perusahaannya yaitu PT Jogja Magasa Iron (JMI) sebagai pelaksana lapangan 6 Nopember 2008 lalu, maka rencana selanjutnya adalahpenyusunan dokumen AMDAL . Walaupun warga bersikeras untuk menolaknya namun pemerintah terlihat tutupmata.

Menurut Sultan, penandatanganan kontrak karya ini baru sebatas izin melakukan studi dan analisis mengenai dampak lingkungan. Sedangkan izin pendirian pertambangan dan pabrik baja akan dibicarakan lebih lanjut. "Yang jelas kontrak karya ini baru merupakan izin untuk melakukan studi AMDAL, desain, rencana pabrik, dan sebagainya. Ini belum untuk mendirikan industry."

Presiden Direktur PT JMM Lutfi Heydey sendiri berjanji penyusunan AMDAL akan dilakukan terbuka demi memuluskan proyek itu. Selain itu AMDAL akan dibuat sesuai dengan standar nasional dan internasional agar bahan baku bajanya diterima di dunia.Tetapi hal ini tidak terbukti karena sosialisasi yang dilakuakan tidak melibatkan masyarakat. Hal ini terlihat dari Aksi PPLP yang menduduki tempat sosialisasi AMDAL oleh PT JMM di Hotel Safir Yogyakarta pada hari kamis tangal 12 bulan maret 2009. Sekretaris PPLP Sukarman mengatakan “aksi tersebut dilakukan sebagai bentuk penolakan atas proyek penambangan pasir besi yang akan dilakukan oleh PT JMI karena dalam sosialisai tersebut PT JMI tidak beriktikat baik.”

“Mengapa petani yang terkena dampaknya malah tidak diundang. Sosialisasi itu hanya melibatkan pemerintahan desa.” Ungkap Sukarman seolah memendam kekesalan. Dalam pernyataan sikapnya, petani menuntut pemerintah setempat membatalkan proyek penambangan pasir besi yang akan memakan lahan pantai sepanjang 22 kilometer di pantai selatan Kulonprogo. Sebab, puluhan ribu petani yang mengandalkan ekonomi di lahan pantai sudah merasa “sejahtera” dengan pertanian cabai, semangka dan tanaman palawija lainnya yang ditanam di lahan tersebut.

Rencana AMDAL yang tidak terbuka tersebut disinyalir akan menyembunyikan dampak kerusakan lingkungan yang hebat. Berdasarkan survey WALHI Yogyakarta, rencana eksploitasi pasir besi akan berimplikasi terhadap 123.601 jiwa yang menaruh harapan pada 4.434 ha lahan pertanian produktif di 4 kecamatan yakni Temon, Wates, Panjatan dan Galur. Dampak lain adalah akan terjadi ekploitasi pasir besi dengan luas bentang alam dan alih fungsi lahan sekitar 22kmx1,8km.

Jika pertambangan tetap dilakukan kerusakan ekosistem dan keseimbangan ekologi yang ada di kawasan pesisir selatan akan terjadi. Dominasi tambang akan lebih kental dibandingkan dengan pertanian, wisata, maupun kawasan lindung, sebagai penyangga kawasan ekologi di kawasan selatan jawa. Keberadaan flora fauna (misalnya, migrasi burung-burung asia pasifik ) yang ada di kawasan tersebut juga terancam. Karena kawasan pesisir selatan sebagian adalah wilayah migrasi burung-burung asia pasisfik yang jarang di temukan di indonesia.

Konon penambangan ini akan menyerap banyak lapangan pekerjaan dan mendatangkan banyak defisa buat Negara. Bisa dilihat dimana Pada Tahap Konstruksi, perusahaan akan menyerap tenaga kerja lokal sebanyak 5000 orang dan pada tahap awal produksi akan mempekerjakan tenaga kerja lokal sebanyak 3000 orang. Dari usaha ini devisa yang akan di terima oleh pemerintah pusat adalah pemasukan pajak US$ 20 juta per tahun ditambah royalti US$ 11,25 juta per tahun. Pemerintah Kabupaten Kulonprogo akan mendapat kontribusi sebesar 1,5% persen dari penjualan masing-masing untuk Regional Development dan Community Development dan setelah 10 tahun meningkat menjadi 2,5%.

Syamsudin Nurseha selaku kuasa hokum PPLP dari LBH Yogyakarta Mengatakan masyarakat petani lahan pesisir di kulonprogo sudah makmur tanpa adanya Proyek JMI di kawasan tersebut, karena pekerjaan yang cocok untuk petani adalah bertani bukan menambang. “Jika warga PPLP menyerahkan lahan tersebut untuk di jadikan Industri Pasir Besi belum tentu mereka dapat bekerja di dalamnya karena kemampuan mereka adalah bertani bukan penambang. Dengan tidak transparanya pengelolaan AMDAL, karena pihak masyarakat tidak dilibatkan, ini sangat merugikan masyarakat kususnya PPLP karena merekalah yang akan terkena dampak langsung dari proyek tersebut”. Jelas Samsudin.

Siti Maenunah, seorang aktifis Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), Melihat Kontribusi yang dihasilkan oleh Pertambangan untuk Negara dan masyarakat ini dalam empat dekade sangat tidak menguntungkan. Selama ini eksploitasi sektor tambang di Indonesia sebagian besar berbasiskan bahan mentah untuk kebutuhan ekspor. Bahkan Freeport dan Newmont mengekspor emas dalam bentuk konsentrat. Akibatnya nilai tambah sektor ini sangatlah kecil. Sepanjang tahun 2000 – 2004, sumbangan sektor pertambangan umum untuk APBN hanya berkisar antara 1,3 – 2,3 trilyun dari royalti yang disumbangkan pertambangan kepada APBN. Departemen ESDM mengklaim, pemasukan sektor tambang kepada negara mencapai Rp 17 trilyun pertahun. Bandingkan dengan pendapatan yang diterima negara dari pengiriman Tenaga Kerja Indonesia (TKI) keluar negeri yang mencapai Rp 25 trilyun pertahun.

Penyerapan tenaga kerja massal di tingkat lokal juga tidak terjadi seperti yang dibayangkan. Sektor pertambangan hanya menyerap 0,13% tenaga kerja Indonesia. Bandingkan dengan sektor pertanian yang menyerap hinggga 43,7% tenaga kerja Indonesia. Apalagi, operasi sebuah perusahaan tambang juga berumur pendek, karena besarnya produksi dan bahan yang digali adalah bahan yang tidak bias diperbarui. Umurnya pendek hanya berkisar antara 3 hingga 12 tahun, tentu pengecualian untuk PT Freeport karena menguasai 51% cadangan emas dan tembaga Indonesia.

Setelah hampir empat dekade pengelolan pertambangan, sektor pertambangan mineral yang diharapkan menjadi tulang punggung ekonomi Indonesia tak sesuai. Bisa kita lihat antara manfaat (benefit) dan mudharatnya (cost). Manfaat adalah berapa tingkat kesejahteraaan baik kulaitatif maupun kuantitatif yang diterima. Sedangkan Mudharat adalah biaya-biaya yang dikeluarkan oleh negara dan penduduk lokal saat pertambangan mulai masuk, beroperasi, hingga mereka meninggalkan kawasan pertambangannya, termasuk resiko yang ditimbulkan seperti kecelakaan, kerusakan baik sosial, budaya maupun ekologi.

Keyakinan bahwa sektor tambang mensejahterakan suatu negara berkembang sebagai pemilik sumberdaya tidak terbukti. Alih-alih kesejahteraan yang didapat penduduk lokal, mereka justru harus mensubsidi perusahaan tambang yang beroperasi dikawasan mereka dengan cara kehilangan lahan, mata pencaharian, kerusakan lingkungan dan bahaya kesehatan akibat pertambangan.

Read More......

3.23.2009

Mencari Strategi Baru Gerakan Mahasiswa di Tengah Otonomi Daerah


Oleh : Adhitya Johan Rahmadan
Gerakan mahasiswa (GERMA) satu dasawarsa ini, mengalamai banyak penurunan, bukan karena rezim otoriter (fasis) yang berkuasa, tetapi justru saat demokrasi mulai di tegakkan dan di aplikasikan di negeri ini, dirasakan sangat “miris” dimana aktifis GERMA dahulu sering dikejar-kejar oleh aparat orde baru pada saat itu gerakan mahasiswa sunguh “heroik” dan masif walaupun banyak yang melalui jalur “bawah tanah” (non formal), tapi kini, saat demokarsi mulai diraih, gerakan mahasiswa tenggelam seiring dengan ketidak jelasan pembelaan mahasiswa terhadap masyarakat yang termarjinalkan.

Mantan Ketua MPR Amien Rais yang pernah menjadi ikon gerakan Reformasi 1998, dalam seminar mahasiswa akhir 2005, menilai, gerakan mahasiswa pascakejatuhan Soeharto telah berubah. Gerakan mahasiswa yang dulu bersemangat, kini seperti ”mati suri”. Aksi demonstrasi yang dilakukan untuk kepentingan rakyat tak banyak digelar, dan mahasiswa lebih banyak dibelenggu kemewahan hidup akibat kapitalisme.

Bahkan Sosiolog dari Universitas Indonesia (UI), Imam Prasodjo, berpendapat ada kecenderungan kualitas gerakan mahasiswa mengalami penurunan karena aksi-aksi mereka lebih menonjolkan kekerasan . Hal tersebut karena mahasiswa tidak memiliki lagi Common Isue, Isu bersama yang dapat menyatukan gerakan mereka dan menerjemahkan dalam gerakan praksis, paremasalahan tersebut dalam internal gerakan mahasiswa mempengaruhi model gerakan mahasiswa yang seharusnya cepat responsif dan non formal, menjadi sangat formalistik dimana kegiatan-kegiatan yang dilakukan hanya formalitas monoton, seperti diskusi-diskusi dan aksi-aksi yang sifatnya reaktif.

Melihat Posisi dan Peran Mahasiswa Dalam Masyarakat
Posisi Mahasiswa dalam masyarakat selama ini sering di identikkan dalam masyarakat sebagai Agent Of Change (agen perubahan), dimana mahasiswa sebagai golongan yang memliki kesempatan mendapatkan mendapatkan pendidikan lebih tinggi dari masyarakat pada umumnya, menjadi angen terdepan untuk mencerdaskan dan membela masyarakat.
Mengapa posisi mahasiswa dalam masyarakat dapat menjadi saat penting dalam masyarakat?, hal ini dapat dilihat dapam posisi mahasiswa dalam teori strukturalisme dimana didalam negara terdapat struktur-struktur yang menyusunya didalamnya adalah : Negara, Pemilik Modal dan Masyarakat:



Dalam Setruktur tersebut pelaku negara yaitu pemerintah akan rentan untuk memihak kepada Pemilik modal, karena modal (Uang) dikuasai oleh pemilik modal yang dapat membeli kebijakan dari pemerintah, agar dapat menguntungkan pemilik modal, hal tersebut dapat kita lihat dari fenomena penggusuran pasar tradisional dan diganti oleh pusat-pusat perbelanjaan moderen dan upah buruh yang sangat minimum dibandingkan dengan keuntungan yang di dapat oleh pemilik perusahaan.

Posisi struktur negara tersebut yang di gunakan oleh kaum Marxsis, untuk Mencari jalan kemakmuran Rakyat (Masyarakat) dengan cara menguasai alat industri yang dimiliki pemodal dan menjadikannya kepemilikian bersama untuk membentuk kediktatoran prolentariat, cita-cita tersebut coba di tafsirkan dan di Impelemtasikan oleh Lenin dengan cara merebut pemerintahan dengan membentuk partai, yang dikenal dengan partai bolesevik (partai komunis), setelah pemerintah dikuasai dan dijadikan pemerintahan komunis dan menguasai seluruh alat produksi yang dimiliki pemilik modal, maka setelah itu kekuasaan diserahkan oleh kaum proletar (rakyat) untuk membentuk kediktatoran prolentariat, namun hingga kini hal tersebut tidak pernah terbentuk, di picu dengan gagalanya negara Unisoviet.

Dan sekarang Ideologi yang dominan di dunia adalah ideologi Kapitalis dengan berbasiskan pada demokrasi liberal, demokrasi liberal sesungguhnya bukan merupakan jawaban yang tepat untuk mensejah terakan masyarakat karena, tidak akan mungkin sejajarnya posisi masyarakat dan pemilik modal beserta ekaum elit politik (pemerintah), hal inilah yang menimbulkan kesenjangan ekonomi dan sosial yang semakin melebar.

Oleh dikarenakan hal tersebut muncullah gagasan tentang jalan tengah (threed Way) yang oleh Anthoni Gidens, di terjemahkan dengan gagasan kaum menengah (kaum Intelektual) yang harus dapat meneyeimbangkan posisi dari pemilik modal, parat pemerintahan dan Mayarakat :



Posisi kaum intelektual inilah yang harus di mengerti oleh mahasiswa sekarang ini, dimana kaum mahasiswalah yang paling mungkin memainkan perannya untuk membela mesyarakat dikarenakan, mahasiswa adalah kelas yang terselubung tidak berkepentingan langsung terhadap pemerintah maupun pemilik modal.

Gerakan mahasiswa sebagai kaum intelektual juga memiliki kelemahan yang mendasar dimana mahasiswa dapat di interpretasikan sebagai “borjuis kecil” dimana pada ahirnya Mahasiswa akan menjadi borjuis, saat seorang mahasiswa meningalakan setatusnya sebagai mahasiswa, dimana setelah ia lulus maka akan bergabung di kelas sosial yang lebih tinggi (yaitu pemilik modal atau Birokrasi Pemerintah).

Berkaca pada hal tersebut setidaknya mahasiswa semenjak dini harus mempunyai pemahaman bahwa, sebagai kaum intelektual harus mempertahankan posisinya untuk membela masyarakat agar mendapatkan keseimbangan hak, tidak lantas menghianati posisinya kemudian berselingkuh dengan pemerintah dan pemilik modal, yang oleh Julien Benda dan Antonio Gramsci disebut penghianatan kaum intelektual.

Hal tersebut menjadi konsekuensi logis bahkan prakmatis bagi kaum intelektual, dikarenakan jika kaum intelektual berselingkuh dengan pemerintah dan pemilik modal, maka rakyat tidak terlindungi dan pada ahirnya akan terjadi gejolak sosial dimana kaum intelektual sebagai kelas menengah juga akan menjadi korban dalam gejolak tersebut, karena akan dianggap sebagai penindas oleh masyarakat.

Masuknya Arus Demokrasi
Arus demokrasi di Indonesia telah menghantarkan reformasi di tahun 1998, setelah gegap gempita perubahan arus politik otoriter menjadi demokrasi, mahasiswa kehilangan arahnya, tidak tahu apa yang harus dilakukan setelah pintu demokrasi terbuka, ada beberapa hal yang menyebabkan hal tersebut diantaranya adalah :
• Mahasiswa tidak memiliki lagi Common Issue
• Kesulitan dalam menerjemahkan paraksis gerakan
• Dibelenggu kemewahan hidup akibat kapitalisme
• Terjebak dalam Gerakan Yang Bersifat Formal

Hal tersebut berdampak pada GERMA baik secara Kualitatif dan kunatitatif, baik di tingkatan reproduksi isu maupun kualitas kader dan ketertarikan Mahasiswa sendiri untuk bergabung dengan GERMA, beberapa hal yang menyebabkan GERMA menurun adalah sebagai berikut :
• GERMA menjadi sangat formalistik dimana kegiatan-kegiatan yang dilakukan hanya formalitas monoton, seperti diskusi-diskusi dan aksi-aksi yang sifatnya reaktif
• Aksi yang dilakukan lebih menonjolkan kekerasan
• Bayak yang masuk ke ranah politik praktis
• Masyarakat menjadi apatis dengan gerakan mahasiwa

Perlunya Memahami Arus politik Demokrasi
Arus politik orde baru dan periode reformasi sangat berbeda, inlah yang harus benar benar dipahami oleh GERMA dimana perlu adanya pemetaan isu dab strategi baru yang harus dekembangakan, dikarenakan gerakan mahasiswa pasti akan terkonsolidasi dengan baik saat pemerintahan otoriter tersebut berkuasa dikarenakan adanya persamaan kepentingan dan isu bersama Common Issue, hal ini tidak mungkin lagi terjadi di era reformasi dengan asuknya arus demokrasi, akan tetapi dengan masuknya arus demokarasi tersebut tidak secara otomatis akan mensejahterakan masyarakat dan menimbulkan keadilan sosial hal tersebut dikarenkan adanya beberapa kelemahan demokrasi hal tersebut dikemukakan oleh Schmitter dan Terry Lynn Karl (1993) dengan mengambil kesimpulan sebagai berikut :
• Demokrasi tidak dengan sendirinya lebih efisien secara ekonomis ketimbang bentuk-bentuk pemerintahan lainnya.
• Demokrasi tidak secara otomatis lebih efisien secara administratif.
• Demokrasi tidak mampu menunjukkan situasi yang lebih tertata rapi, penuh konsensus, stabil, atau dapat memerintah ketimbang sistem otokrasi yang mereka jungkalkan.
• Demokrasi memang memungkinkan masyarakat dan kehidupan politik lebih terbuka ketimbang otokrasi yang disingkirkannya, tetapi tidak dengan sendirinya menjadikan ekonomi lebih terbuka.

Dengan beberapa kelamahan tersebut jangan berharab banayak dengan sistem demokrasi tanpa penguatan basik pengetahuan dan pendidikan masyarakat, karena tanpa masyarakat sadar untuk berpartisipasi aktif dalam demokrasi maka demokrasi hanya akan dimiliki oleh pemilik modal dan kaum elit politik, maka sekarang banayak masyarakat yang merindukan pemerintahan ordebaru yang stabil dan memberikan arah yang pasti walaupun kebebasan masyarakat dibatasi.

Perumusan Setrategi Gerakan Di Era Otonomi Daerah

Pemberian wewenang yang luas kepada daerah sangat berdampak pada sistem politik di indonesia dimana proses kebijakan pemerintah menjadi sangat kedaerahan tidak di monopoli secara penuh oleh pemerintah pusat, untuk itu gerakan yang harus dirumuskan oleh GERMA haruslah lebih teliti dan dapat merambah isu-isu lokal, dikarenakan bisa di ibaratkan raja dari sistem pemerintahan di Era Otonomi Daerah bukan lagi ada di tangan presiden tetapi ada di Tingkatan lokal yaitu Bupati dan Walikota. Hal ini dapat di lihat dalam pembagian kekuasaan di tingkat pusat dan daerah. Dimana yang

menjadi urusan pemerintah pusat adalah :
• politik luar negeri;
• pertahanan;
• keamanan;
• yustisi;
• moneter dan fiskal nasional; dan
• agama.

Sedangkan yang menjadi Tugas Pemerintah Daerah adalah :
• melindungi masyarakat, menjaga persatuan, kesatuan dan kerukunan nasional, serta keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
• meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat;
• mengembangkan kehidupan demokrasi;
• mewujudkan keadilan dan pemerataan;
• meningkatkan pelayanan dasar pendidikan;
• menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan;
• menyediakan fasilitas sosial dan fasilitas umum yang layak;
• mengembangkan sistem jaminan sosial;
• menyusun perencanaan dan tata ruang daerah;
• mengembangkan sumber daya produktif di daerah;
• melestarikan lingkungan hidup;
• mengelola administrasi kependudukan;
• melestarikan nilai sosial budaya;
• Membentuk dan menerapkan peraturan perundang-undangan sesuai dengan kewenangannya; dan
• kewajiban lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Hal inilah yang harus diperhatikan GERMA dalam merumuskan gerakannya, dimana germa selama ini hanya berfokus pada isu-isu pemerintah pusat tanpa memperhatikan bahawa kekuasaan dominan sekarang ada di daerah, maka isu-isu dan gerakan yang dilakuakan tidak pernah dirasakan oleh masyarakat secara nyata dan hanya bersifat politis. Maka perlu sekiranya dilakuakan pembentukan laboratorium isu bagi GERMA untuk dapat merumuskan strategi gerakan ditingkatan lokal yang bersinggungan langsung dengan kebutuihan masyarakat secara nyata.

Bagaimana Bergerak Di Daerah

Mengapa kita harus bergerak di daerah ?, hal inilah yang menjadi isu sentral yang harus di pikirkan oleh GERMA, dikarenakan di era Demokrasi tanpa penguatan Masyarakat secara politik dan ekonomi maka esensi demokrasi tersebut akan gagal, jika Mahasiswa hanya bergerak dan berfokus pada isu-isu nasional yang mengandalakan perubahan strategi kebijakan dan politi pemerintahan, maka gerakan tersebut akan karikatif dimana tanpa adanya masyarakat yang cerdas maka sebagus apapun sistem tersebut masyarakat tetap kana tertindas, hal ini dapat dilihat dari gerakan mahasiswa yang berfokus pada penurunan harga BBM pada saat BBM dinaikkan, hal tersebut tidak akan berdampak siknifikan karena masyarakat hanya dijadikan obyek, bukan subyek pelaku perubahan.

Walaupun dalam bergerak GERMA juga tetap harus juga mengawal isu di tingkatan nasional, GERMA perlu pemfokusan gerakan untuk menjadikan masyarakat sebagai subyek perubahan, dengan cara mencerdaskan masyarakat di lini bawah, dimana hal tersebut hanya dapat dilakukan secara masif di tingkatan daerah, dimana semua keputusan tentang pembangunan infra struktur dan penguatan pendidikan dan sosial berada di tingkatan pemerintah daerah.

Yang menjadi titik fokus perjuangan GERMA di tingkatan daerah adalah bagaimana masyarakat dapat dilibatkan dalam pengambilan kebijakan oleh pemerintah daerah baik di lini Provinsi sampai tingkat desa, dikarenakan hal tersebut yang menjadi titik kegagalan demokrasi perwakilan dimana yang menjadi isu dasar adalah :
• Tanggungjawab (responsibility), yakni sejauh mana para pemegang kuasa betul-betul melaksanakan tanggungjawab politiknya sesuai dengan aspirasi warga negara;
• Kesetaraan (equality), yakni sejauh mana tiap warganegara memiliki kesempatan yang sama untuk secara bersama ikut memutuskan suatu kebijakan; di dalam masyarakat modern, ketimpangan sosial ekonomi yang ada telah menghalangi terwujudnya kesetaraan kesempatan dan ikut serta memutuskan kebijakan;
• Kemandirian politik warganegara (political autonomy), yakni sejauh mana warganegara betul-betul mampu hidup mandiri dengan keputusan-keputusan politik yang telah ikut disusunnya.

Gerakan GERMA sekarang harus mulai memfokuskan pada penguatan dan pendidikan ti tingkatan masyarakat bawah agar masyarakat dapat dilibatkan dalam pengambilan keputusan dan mengerti akan hak-haknya dalam negara demokrasi sehingga masyarakat dapat berperan aktif untuk membangun negara di era demokrasi, tidak hanya bersifat pasif seperti di era orde baru.

Disini perlu perubahan paradigma dari demokrasi perwakilan yang liberal menjadi demokrasi deliberatif dimana mengutamakan penggunaan tata cara pengambilan keputusan yang menekankan musyawarah dan penggalian masalah melalui dialog dan tukar pengalaman di antara para pihak dan warganegara. Tujuannya untuk mencapai musyawarah dan mufakat berdasarkan hasil-hasil diskusi dengan mempertimbangkan berbagai kriteria. Keterlibatan warga (citizen engagement) merupakan inti dari demokrasi deliberatif.

Kemampuan Yang Harus Dikembangkan
Dalam ranah pembangunan kesadaran politik masyarakat untuk memperjuangkan haknya perlu sekiranga GERMA mengembangakan beberapa Kemampuan yang menunjang kapasitasnya untuk melakukan pendidikan politik tersebut, yang berguna uintuk mengawal bagaimana pemerintah dapat melibatkan masyarakat dalam setiap pengambilan keputusannya, Kemampuan tersebut diantaranya dalah:
• Kemampuan Penelitian untuk merumuskan gerakan yang rasional
• Kemampuan advokasi masyarakat baik dibidang litigasi maupun non litigasi
• Kemampuan advokasi Kebijakan Publik
• Kemampuan advokasi Pembentukan Peraturan
• Kemampuan advokasi Pembentukan Anggaran
• Kemampuan advokasi Penyelengaraan Pelayanan Publik

Sekiranya dengan beberapa pengembangan beberapa kemampun tersebut GERMA dapat lebih mudah dalam bergerak dalam advokasi di tingkatan pemerintah daerah.

Semoga bermanfaat,......


Read More......